Rabu, 04 Juli 2012

Pamer sama dengan pencitraan nggak sih?

Dewasa ini (bok, bahasanya kayak soal cerita di buku pelajaran SD) saya sudah jadi Nyonya. Oke. Maaf. Ini sama sekali bukan pencitraan atau pengumuman. Untuk sebagian teman-teman saya. Ini sudah bukan rahasia umum lagi. Tapi tulisan saya kali ini emang ada hubungannya sedikit dengan syukuran di awal bulan depan kemarin. Kenapa saya bilang syukuran? Karna saya nggak mau nganggep ini pesta. Ini hanya sebuah loyalitas terhadap tradisi dan kebudayaan semata. Menurut saya sih gitu. Bodo amat orang lain mikirnya ini waktu yang tepat buat pamer. Not my bussiness.

For me, this resepsi is going dizzy. Kenapa? Karna saya sama pasangan saya bukan hanya sibuk mempersiapkan tetek bengek dan embel-embelnya. Tapi juga materinya. Bukan juga sibuk mikirin atau milih selera kita masing-masing. Apakah mending nuansa oranye atau nuansa ungu, itu nggak ada di kamus-persiapan-pra-resepsi saya dan pasangan. Kita hanya sibuk berfikir meminimalisir biaya yang mendingan dipake setelah acara selesai. Dan sebisa mungkin nggak nyusahin orang tua masing-masing. And it make me PROUD. Sungguh!

Karna saya bangga, saya sama pasangan saya selalu dilatih untuk berfikir dan mencari. Juga meminta (sama Tuhan) dan berdo'a. Bukan dengan pamer di status BBM, facebook, twitter bahwa pesta yang akan diselenggarakan nanti berlangsung mewah. Nope! Jajauheun kalo kata orang sunda mah. I means, sedikit curcol gitu di status ya wajar aja lah ya. Tapi maksudnya, kalo dibandingin sama beberapa peureu di recent update BBM saya, ya balik lagi ke bahasa sunda tadi. Jajauheun lah. Niat saya baik, dan pembayangan saya bukan cuma sekedar berpesta lalu malam pertama lalu bulan madu. Nooooo. Pembayangan saya lebih ke tanggung jawab. Someday kalo saya sudah jadi ibu dan saat menjadi seorang istri. Kalo bahasanya pasangan saya, kita punya peran masing-masing.

And then, kenapa para peureu-peureu itu segitu hebohnya memamerkan kekayaan calon suami mereka. Ya, mungkin mereka lupa kalau hidup itu kadang nggak mudah. Dan solusinya bukan uang atau harta. Tapi buat saya kebanggaan mereka nggak rasional. Beda hal nya kalau kekayaan itu hasil keringat, hasil dimarah-marahi konsumen, hasil disuruh ini itu sama atasan, hasil keribetan di pagi hari saat mulai bekerja. No! Sepertinya mereka nggak tahu tentang itu.

Buat saya, sayang banget hidup yang hanya sekali ini harus diisi dengan hanya memamerkan kekayaan yang judulnya juga dikasih. Seolah-olah semua itu bersifat permanen. Rasa memiliki yang begitu tinggi itu nggak akan bawa kamu kemana-mana. Toh bahkan diri kita pribadi aja milik Tuhan. Bukan milik diri kita sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar