Hello theres!!! I'm back! Ihiy. Rasanya sudah bertahun-tahun saya gak nulis di blog ini. Macam rumah kosong yang berdebu aja ini blog gegara jarang disentuh atau dilongok sama penghuninya. And today semangat menulis saya tetiba muncul seiring dengan cerahnya cuaca sore ini (DUH! I'm bad on making the romantic sentence) HAHA. Baiklah. Kita langsung aja mbahas apa yang ingin saya tuangkan sore ini.
Tentang zona nyaman seorang manusia yang banyak sekali ditinggali selayaknya sebuah rumah megah berpenghuni. Lengkap dengan kenyamanannya yang tersedia. Lengkap pula dengan fasilitas yang membaur di dalamnya. Rasanya manusia juga emoh mati kalo liat kenyamanan dunia yang disediakan untuknya. Saya tetiba ingin menulis tentang zona nyaman seorang manusia itu pada saat sedang membaca the-late-birthday-gift from one and only my bestfriend MEI. Saya lagi pengen beli buku titik nol yang harganya 89ribu (kalo gak salah) dan buat saya itu mahal banget. Walopun worth it sih dengan tebelnya yang hampir sama dengan buku partikel dan juga isinya yang bener-bener bikin saya ter-wow-wow (apalah ini bahasanya ter-wow-wow). Hihi.
Dan saya kagum sama penulis yang menceritakan perjalananannya. Keluar dari comfort zone yang hampir jutaan manusia di luar sana mengejarnya. Skip! Saya nggak lagi nulis tentang review buku (saya gak bisa :D). Saya hanya ingin menceritakan sedikit saja pandangan saya tentang zona nyaman seseorang. Can u imagine? Dia (penulis) rela meninggalkan izasah dengan nilai tertinggi kedua (kalo ga salah) di salah satu universitas terkemuka di Cina. Yang untuk mendapatkan itu banyak mahasiswanya yang sampai memilih untuk bunuh diri (silly think. Right?!). Sedangkan dia rela meninggalkan itu semua. Padahal pekerjaan layak dengan label mahasiswa pintar dan kantor mentereng dengan sejumlah gaji yang menggiurkan sudah menantinya di sana. Apalagi rumah pribadi dan sederet fasilitas lainnya yang seolah-olah memang sudah ADA di sana untuknya. Tapi dia rela meninggalkan itu semua karena ia punya mimpi yang orang lain sebut dengan mimpi gila. Yaitu keliling dunia menjadi backpacker dan meninggalkan semua kenyamanan dan keindahan dunia. Semata-mata, ia hanya mencari makna hidup dari sebuah perjalanan. Dan menurut saya, jarang sekali orang yang bisa dan rela mengambil keputusan sepertinya. Bahkan diri saya sendiri pun. Rasanya enggan meninggalkan kenyamanan demi sebuah perjalanan yang bisa dikatakan gak-ada-enak-enaknya-bero :D
And back to zona nyaman yang saya maksud. Kenapa semua orang lebih menginginkan fisik dibanding yang tidak kasat mata. Makna dari perjalanan hidup saja buat saya itu berkah. Yang sifatnya kasat mata dan tidak terlihat. Dan hanya orang-orang tertentu yang punya 'akal' yang bisa merasakan. Tidakkah mereka menyadari bahwa Tuhan yang mereka sembah setiap hari dan yang mereka temui di dalam shalat yang mereka elu-elukan itu pun tidak kasat mata. Tidak terlihat namun ADA. Tuhan tidak memiliki fisik apapun, tapi NYATA bahwa Dia bisa memberikan kenyamanan. Di luar zona nyaman yang manusia cari. Saya pernah baca quotes yang menyatakan bahwa babi dan kera di hutan saja bisa hidup dan namanya tetap hidup. Tapi selayaknya manusia yang diberi akal, harusnya mencari apa itu hidup. Seiring dengan berjalannya waktu saya pun menyadari bahwa menjalani saja ternyata tidak cukup. Butuh makna yang lebih dari itu tentang hidup.
Makanya saya heran kalau masih begitu banyak orang (Baca : orang-orang di sekitar saya atau yang saya kenal baik) masih memerlihatkan apa yang mereka punya di publik. Khususnya di media sosial atau dunia maya. Saya sering merasa miris aja kalo mereka bawa-bawa nama Tuhan tapi tidak mengerti makna Tuhan sesungguhnya. Eh! Sebentar! Ya emangnya saya ngerti gitu? :D Oke. Anggap saja saya juga tidak atau belum mengerti apa makna Tuhan sesungguhnya di hidup saya. Tapi minimal saya mengerti 'sedikit' saja dari kata Tuhan itu sendiri. Sama halnya dengan penulis yang tadi saya ceritakan. Dia mencari makna hidup dari sebuah perjalanan panjang keliling dunia yang bisa dibilang berat. Tapi saya yakin ujung-ujungnya pencarian manusia itu Tuhan kok. Sama halnya dengan perjalanan hidup saya yang (gak usah kita sebut berat. Tapi katakanlah tidak mudah) ternyata sama halnya dengan perjalanan yang dia lalui. Seputar Tuhan, arena Tuhan, dan kita ada di sekelilingnya. Walaupun prosesnya saja yang berbeda. Tapi maknanya sama. So' beranilah untuk keluar dari zona nyaman yang sudah tersedia. Kadang jalan butut juga perlu kita lewati kok.
Sama halnya dengan jalan hidup saya dan suami. Kadang pada saat sedang jatuh, kami merasa lelah dan ... timbul pertanyaan kenapa hidup kami tidak sama dengan yang orang lain jalani (yang secara kasat mata terlihat mudah). Tapi pada akhirnya saya menyadari. Suami saya tipe orang yang tidak atau sesekali menolak hidup di zona nyaman. Hingga Tuhan mempertemukan kami. Mungkin untuk sama-sama belajar menjajaki hidup rumah tangga di zona yang tidak nyaman. Kayaknya kita berdua emang gak cocok tinggal di zona nyaman :D
UPS! Bukan berarti saya gak mau tidur di kasur empuk dan makan enak ya. Tapi terkadang, hidup di area yang tidak nyaman juga menyenangkan kok. Terlepas dari versi dan pandangan setiap orang tentang nyaman itu sendiri ya. Saya rasa versi setiap orang beda-beda. Kalau menurut orang lain, hidup dengan kasur mahal, AC, dan kamar lega dengan berbagai fasilitas adalah nyaman. Maka buat kami, tidur dengan berpelukan saja nikmatnya sudah melebihi tidur di kasur mahal :D
And this is, the-late-birthday-gift from my only friends MEI. Thanks so much babe ...
Titik nol By Agustinus Wibowo :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar