Rabu, 30 Oktober 2013

Menjadi Orang Tua


Hola!
Akhirnya saya kembali dengan sejuta cerita. Ada begitu banyak hal yang ingin saya ceritakan di sini, tapi satu-satu dululah ntar otaknya overload :P

Saya ingin membahas tentang menjadi Orang Tua yang baik. Padahal, I don't even know bagaimana menjadi Orang Tua yang baik itu karena saya belum pernah memiliki anak. Tapi pada saat Tuhan sedang mempersiapkan saya untuk menjadi Orang Tua, Ia memberi banyak pelajaran. Bahwa menjadi Orang Tua itu tidak melulu cari duit biar anaknya bisa makan dan bisa hidup enak. Khususnya menjadi Ibu. Suami saya sering bilang bahwa tugas Ibu malah lebih berat. Selain mengandung dan menyusui serta menjaga di malam hari. Tapi juga harus mengajarkan banyak hal. 

Dan saya gereget sama Ibu-ibu zaman sekarang yang hanya tahu akan kebanggaannya saja. Maaf, saya memang belum pernah menjadi seorang Ibu, tapi saya juga pernah hamil. Saya tahu rasanya sayang pada anak dan bangga bahwa saya akan menjadi Ibu. Tapi, berhentilah untuk selalu menceritakan semua kejadian pada saat mengandung anak khususnya di sosial media. Saya sadar bahwa hal itu malah membuat kita menjadi Ibu yang cuma bangga doank. Bukan benar-benar 'bagaimana-menjadi-Ibu'. Anggaplah saya hanya sok tahu. Tapi saya sudah muak dengan banyaknya Ibu-ibu yang hanya bisa curhat di sosial media. Bahkan dari mulai tespack hingga hasil foto USG bayi selama di kandungan semua disebar dengan bangganya. Dulu, kalau kehamilan saya yang pertama tidak gagal mungkin saya pun bisa menjadi seperti mereka. Tapi untungnya tidak. Karena lama kelamaan saya mulai merasa kegiatan seperti itu konyol. Dan membuat kita terlihat seperti seorang Ibu yang tidak smart.

Bangga boleh, mendoakan boleh, mencintai calon anak ya harus, tapi mengumbar cerita itu terkesan agak norak. Saya sudah terima resikonya jika ada banyak orang yang merasa tidak setuju atau tidak terima dengan tulisan saya ini. Gak papalah. Toh ini opini pribadi dan saya berhak mengungkapkannya. Makanya jadi terdengar lucu aja kalau ada Orang Tua yang bilang anak adalah titipan tapi saking seringnya mereka memamerkan anaknya malah terlihat seperti kebanggaan. Jadi, titipannya sebelah mana?

Dan punya anak itu bukan hanya tentang kebanggaannya saja yang semua-orang-wajib-tahu-gue-hamil-dan-punya-anak. Punya anak juga bukan seperti nenteng tas Hermes Ori yang ya-jelas-lah-semua-orang-wajib-tahu. Better lebih banyak mendoakan dia, jauh sebelum dia lahir ke dunia. Toh anak yang ada di kandungan kita pun belum tentu setuju dirinya diekspos di sosial media dari sebelum dia lahir. Ingatlah bahwa bayi kecil nan mungil menggemaskan itu juga memiliki naluri. Siapa pun yang tidak setuju dengan tulisan saya ini, boleh protes. Monggo! Kalian juga boleh bilang saya hanya sirik karena tak punya anak, tapi jika orangnya pintar pasti bisa menilai lebih dari itu. Saya gak peduli dianggap sirik atau apa, karena untuk sebagian teman-teman saya yang belum memiliki anak pun ternyata beranggapan sama. Melihat Ibu-ibu hamil yang banyak mengumbar cerita si jabang bayi itu jadinya malah risih.

Karena kita semua tahu, bahwa dalam menjadi Orang Tua akan ada masa pertanggungjawaban di hadapan Tuhan suatu saat nanti. Itulah yang harus kita pikirkan. Bagaimana kita bisa menjadikan anak kita sebagai anak yang hanya takut pada Tuhan, yang mencintai Tuhan, yang mencintai sesama, yang akhlaknya baik, dan bagaimana dia bisa menjadi anak yang cerdas. Malu donk kalo nanti kita sebagai Orang Tua ditanya Tuhan apa yang sudah kita berikan pada anak masa kita harus jawab 'Saya sudah update sekian detik sekali di status BBM Tuhan, karena saya sayang sama anak saya.' Kan nggak mungkin juga :D

Bahkan masih banyak juga Orang Tua yang setelah diberi anak oleh Tuhan tapi menyia-nyiakan kesempatan untuk mencintai, menyayangi, dan mendidik anak-anaknya. Percayalah, bahwa mereka lahir ke dunia dengan tanpa membawa apa-apa. Ibaratnya, mereka hanya kertas kosong yang tak tahu harus menulis apa. Dan kitalah sebagai Orang Tua yang harus mengisinya dengan segala sesuatu yang baik. Bukan dipamerkan. Mungkin saya juga terdengar seperti sok bijak, tapi saya percaya bahwa bukan tanpa alasan Tuhan memberi kita tugas. Lalu, apakah kita hanya akan menjadikan tugas tersebut hanya sebagai pameran? Hanya sebatas itu?

Kalo bahasanya suami saya sih, kita harus belajar bagaimana mengolah rasa. Saat kita sedang pamer ini itu tentang anak, tidakkah kamu tahu bahwa di luar sana ada banyak perempuan yang sedang harap-harap cemas menunggu berita kehamilan, perempuan yang tidak bisa punya anak, perempuan yang memiliki anak tapi dengan banyak riwayat kesehatan yang kurang baik? Tidakkah kamu tahu bahwa dengan melihat status tentang anak tersebut bisa membuat para perempuan itu bersedih. Bahkan merasa tidak cukup baik untuk menjadi seorang Ibu. Maka, berceritalah sewajarnya. Agar kita bisa menjadi Orang Tua yang baik. Termasuk saya yang hingga kini masih mengharapkan bisa memiliki anak dan bisa selalu sehat. Tapi sudahlah, ini hanya pendapat saja. Tidak setuju tidak apa-apa. Mari kita saling berpikir positif :)

Sabtu, 05 Oktober 2013

Sosok pria dan tanggung jawabnya



HA! Udah lama banget saya gak longokin ini blog. Kesannya orang sibuk, mau nulis blog aja musti waiting list. Haha. Padahal sok sibuk dan sok gak ada ide buat nulis blog *padahal alesan* :D 
By the way, saya juga sebenernya bingung mau nulis tentang apa. Dibilang susah cari ide nggak juga. Karena masih ada banyak hal yang bisa saya bahas di blog ini. Serah mau dibaca apa nggak :D

Judul tentang tanggung jawab ini tiba-tiba ditemukan waktu saya melihat role model yang nggak banget karena bagi saya dia gak ada tanggung jawabnya sedikit pun (padahal laki!). So' saya merasa harus menuliskannya di sini. Ini bukan tentang ngomongin orang tapi ini tentang tanggung jawab. Dari dulu, yang saya nilai dari cowok bukan tentang agamanya, tampangnya, materinya, sifatnya atau gelarnya (I means dalam ukuran calon suami yak bukan lagi pacar). Tapi yang saya nilai adalah segi tanggung jawabnya. Kenapa? Karena, zaman sekarang agama juga bukan jaminan (bukan berarti saya menilai bahwa agama tidak penting ya), apalagi yang namanya tampang, materi, dan gelar. Sedangkan untuk sifat, selama cowok tersebut punya tanggung jawab saya rasa sifatnya bisa mengikuti.

Saya gerah aja liat seorang laki-laki yang ibaratnya dia seorang pemimpin rumah tangga, sebagai ayah, sebagai suami, dan sebagai laki-laki tapi gak bisa jadi seseorang yang bertanggung jawab. Gimana dia mau ngurus keluarganya dan mempertanggungjawabkan apa yang dia lakukan kalau dia sendiri gak punya tanggung jawab minimal sama diri dia sendiri. Dan saya percaya, kalau seseorang yang punya tanggung jawab itu saat dia melakukan kesalahan besar sekali pun dia akan berani menghadapi. Bukannya mundur, takut, atau bahkan muka tebel. Laki-laki di dalam sebuah keluarga itu contoh dan panutan. Khususnya bagi anak-anak. Dan kalau dia gak bisa apa-apa minimal sama dirinya sendiri gimana dia mau dijadikan contoh sama anak-anaknya. Iya kalo anak-anaknya ngerti itu contoh yang buruk, kalau diikuti?

Balik lagi ke soal tanggung jawab. Saya menilai sosok dua pria dalam hidup saya. Ayah dan suami saya. So far buat saya mereka sudah punya tanggung jawab. Secara pria dewasa, dalam menjadi suami dan menjadi ayah. Makanya saya gerah banget kalo liat sosok pria yang gak punya tanggung jawab dalam hidupnya. Jangankan untuk hal besar, hal kecil pun kayaknya ogah banget dipikirin. Ngeri! Kasian anak dan istrinya. Kayak gak punya panutan. Tapi ya, walopun saya blak-blakan gini tetep aja. Saya siapa sih? Punya hak apa untuk menghakimi orang. Toh hidup mereka bukan saya yang tanggung. Tapi saya jadi punya contoh aja, if someday saya punya anak laki saya akan mengajarkan dia tanggung jawab. Hal sekecil apapun. Biar menegaskan bahwa jika nanti saya punya anak laki, saya gak bisa nyangkal dia tidak mungkin ngelakuin kesalahan besar (toh dia manusia biasa) tapi kalau dia punya tanggung jawab minimal dia berani menghadapi apa yang harus dia tanggung. Dan gak malu-maluin. Masa laki lembek dan penakut!!

Bab tanggung jawab ini sebenarnya bukan cuma buat cowok aja. Toh setiap manusia emang harus punya tanggung jawab. Tapi karena laki-laki tanggungannya lebih gede, I means anak dan istri makanya saya menekankan lebih khusus untuk pria. So, for you siapa pun yang membaca remember that dalam memilih pria itu bukan hanya (lagi-lagi!) tentang kemapanan dan agamanya doank. Kalo agamanya dibilang bagus tapi orangnya gak punya tanggung jawab ya sama aja bohong. Atau secara finansial mapan tapi tidak berani menghadapi kesalahannya sendiri buat apa? Berhati-hatilah. Kalau kita sebagai perempuan bisa jadi perempuan yang cerdas, memilih pasangan hidup sudah bukan lagi hal yang membingungkan. Makanya tanggung jawab itu PENTING urusannya :)