Rabu, 30 Oktober 2013

Menjadi Orang Tua


Hola!
Akhirnya saya kembali dengan sejuta cerita. Ada begitu banyak hal yang ingin saya ceritakan di sini, tapi satu-satu dululah ntar otaknya overload :P

Saya ingin membahas tentang menjadi Orang Tua yang baik. Padahal, I don't even know bagaimana menjadi Orang Tua yang baik itu karena saya belum pernah memiliki anak. Tapi pada saat Tuhan sedang mempersiapkan saya untuk menjadi Orang Tua, Ia memberi banyak pelajaran. Bahwa menjadi Orang Tua itu tidak melulu cari duit biar anaknya bisa makan dan bisa hidup enak. Khususnya menjadi Ibu. Suami saya sering bilang bahwa tugas Ibu malah lebih berat. Selain mengandung dan menyusui serta menjaga di malam hari. Tapi juga harus mengajarkan banyak hal. 

Dan saya gereget sama Ibu-ibu zaman sekarang yang hanya tahu akan kebanggaannya saja. Maaf, saya memang belum pernah menjadi seorang Ibu, tapi saya juga pernah hamil. Saya tahu rasanya sayang pada anak dan bangga bahwa saya akan menjadi Ibu. Tapi, berhentilah untuk selalu menceritakan semua kejadian pada saat mengandung anak khususnya di sosial media. Saya sadar bahwa hal itu malah membuat kita menjadi Ibu yang cuma bangga doank. Bukan benar-benar 'bagaimana-menjadi-Ibu'. Anggaplah saya hanya sok tahu. Tapi saya sudah muak dengan banyaknya Ibu-ibu yang hanya bisa curhat di sosial media. Bahkan dari mulai tespack hingga hasil foto USG bayi selama di kandungan semua disebar dengan bangganya. Dulu, kalau kehamilan saya yang pertama tidak gagal mungkin saya pun bisa menjadi seperti mereka. Tapi untungnya tidak. Karena lama kelamaan saya mulai merasa kegiatan seperti itu konyol. Dan membuat kita terlihat seperti seorang Ibu yang tidak smart.

Bangga boleh, mendoakan boleh, mencintai calon anak ya harus, tapi mengumbar cerita itu terkesan agak norak. Saya sudah terima resikonya jika ada banyak orang yang merasa tidak setuju atau tidak terima dengan tulisan saya ini. Gak papalah. Toh ini opini pribadi dan saya berhak mengungkapkannya. Makanya jadi terdengar lucu aja kalau ada Orang Tua yang bilang anak adalah titipan tapi saking seringnya mereka memamerkan anaknya malah terlihat seperti kebanggaan. Jadi, titipannya sebelah mana?

Dan punya anak itu bukan hanya tentang kebanggaannya saja yang semua-orang-wajib-tahu-gue-hamil-dan-punya-anak. Punya anak juga bukan seperti nenteng tas Hermes Ori yang ya-jelas-lah-semua-orang-wajib-tahu. Better lebih banyak mendoakan dia, jauh sebelum dia lahir ke dunia. Toh anak yang ada di kandungan kita pun belum tentu setuju dirinya diekspos di sosial media dari sebelum dia lahir. Ingatlah bahwa bayi kecil nan mungil menggemaskan itu juga memiliki naluri. Siapa pun yang tidak setuju dengan tulisan saya ini, boleh protes. Monggo! Kalian juga boleh bilang saya hanya sirik karena tak punya anak, tapi jika orangnya pintar pasti bisa menilai lebih dari itu. Saya gak peduli dianggap sirik atau apa, karena untuk sebagian teman-teman saya yang belum memiliki anak pun ternyata beranggapan sama. Melihat Ibu-ibu hamil yang banyak mengumbar cerita si jabang bayi itu jadinya malah risih.

Karena kita semua tahu, bahwa dalam menjadi Orang Tua akan ada masa pertanggungjawaban di hadapan Tuhan suatu saat nanti. Itulah yang harus kita pikirkan. Bagaimana kita bisa menjadikan anak kita sebagai anak yang hanya takut pada Tuhan, yang mencintai Tuhan, yang mencintai sesama, yang akhlaknya baik, dan bagaimana dia bisa menjadi anak yang cerdas. Malu donk kalo nanti kita sebagai Orang Tua ditanya Tuhan apa yang sudah kita berikan pada anak masa kita harus jawab 'Saya sudah update sekian detik sekali di status BBM Tuhan, karena saya sayang sama anak saya.' Kan nggak mungkin juga :D

Bahkan masih banyak juga Orang Tua yang setelah diberi anak oleh Tuhan tapi menyia-nyiakan kesempatan untuk mencintai, menyayangi, dan mendidik anak-anaknya. Percayalah, bahwa mereka lahir ke dunia dengan tanpa membawa apa-apa. Ibaratnya, mereka hanya kertas kosong yang tak tahu harus menulis apa. Dan kitalah sebagai Orang Tua yang harus mengisinya dengan segala sesuatu yang baik. Bukan dipamerkan. Mungkin saya juga terdengar seperti sok bijak, tapi saya percaya bahwa bukan tanpa alasan Tuhan memberi kita tugas. Lalu, apakah kita hanya akan menjadikan tugas tersebut hanya sebagai pameran? Hanya sebatas itu?

Kalo bahasanya suami saya sih, kita harus belajar bagaimana mengolah rasa. Saat kita sedang pamer ini itu tentang anak, tidakkah kamu tahu bahwa di luar sana ada banyak perempuan yang sedang harap-harap cemas menunggu berita kehamilan, perempuan yang tidak bisa punya anak, perempuan yang memiliki anak tapi dengan banyak riwayat kesehatan yang kurang baik? Tidakkah kamu tahu bahwa dengan melihat status tentang anak tersebut bisa membuat para perempuan itu bersedih. Bahkan merasa tidak cukup baik untuk menjadi seorang Ibu. Maka, berceritalah sewajarnya. Agar kita bisa menjadi Orang Tua yang baik. Termasuk saya yang hingga kini masih mengharapkan bisa memiliki anak dan bisa selalu sehat. Tapi sudahlah, ini hanya pendapat saja. Tidak setuju tidak apa-apa. Mari kita saling berpikir positif :)

Sabtu, 05 Oktober 2013

Sosok pria dan tanggung jawabnya



HA! Udah lama banget saya gak longokin ini blog. Kesannya orang sibuk, mau nulis blog aja musti waiting list. Haha. Padahal sok sibuk dan sok gak ada ide buat nulis blog *padahal alesan* :D 
By the way, saya juga sebenernya bingung mau nulis tentang apa. Dibilang susah cari ide nggak juga. Karena masih ada banyak hal yang bisa saya bahas di blog ini. Serah mau dibaca apa nggak :D

Judul tentang tanggung jawab ini tiba-tiba ditemukan waktu saya melihat role model yang nggak banget karena bagi saya dia gak ada tanggung jawabnya sedikit pun (padahal laki!). So' saya merasa harus menuliskannya di sini. Ini bukan tentang ngomongin orang tapi ini tentang tanggung jawab. Dari dulu, yang saya nilai dari cowok bukan tentang agamanya, tampangnya, materinya, sifatnya atau gelarnya (I means dalam ukuran calon suami yak bukan lagi pacar). Tapi yang saya nilai adalah segi tanggung jawabnya. Kenapa? Karena, zaman sekarang agama juga bukan jaminan (bukan berarti saya menilai bahwa agama tidak penting ya), apalagi yang namanya tampang, materi, dan gelar. Sedangkan untuk sifat, selama cowok tersebut punya tanggung jawab saya rasa sifatnya bisa mengikuti.

Saya gerah aja liat seorang laki-laki yang ibaratnya dia seorang pemimpin rumah tangga, sebagai ayah, sebagai suami, dan sebagai laki-laki tapi gak bisa jadi seseorang yang bertanggung jawab. Gimana dia mau ngurus keluarganya dan mempertanggungjawabkan apa yang dia lakukan kalau dia sendiri gak punya tanggung jawab minimal sama diri dia sendiri. Dan saya percaya, kalau seseorang yang punya tanggung jawab itu saat dia melakukan kesalahan besar sekali pun dia akan berani menghadapi. Bukannya mundur, takut, atau bahkan muka tebel. Laki-laki di dalam sebuah keluarga itu contoh dan panutan. Khususnya bagi anak-anak. Dan kalau dia gak bisa apa-apa minimal sama dirinya sendiri gimana dia mau dijadikan contoh sama anak-anaknya. Iya kalo anak-anaknya ngerti itu contoh yang buruk, kalau diikuti?

Balik lagi ke soal tanggung jawab. Saya menilai sosok dua pria dalam hidup saya. Ayah dan suami saya. So far buat saya mereka sudah punya tanggung jawab. Secara pria dewasa, dalam menjadi suami dan menjadi ayah. Makanya saya gerah banget kalo liat sosok pria yang gak punya tanggung jawab dalam hidupnya. Jangankan untuk hal besar, hal kecil pun kayaknya ogah banget dipikirin. Ngeri! Kasian anak dan istrinya. Kayak gak punya panutan. Tapi ya, walopun saya blak-blakan gini tetep aja. Saya siapa sih? Punya hak apa untuk menghakimi orang. Toh hidup mereka bukan saya yang tanggung. Tapi saya jadi punya contoh aja, if someday saya punya anak laki saya akan mengajarkan dia tanggung jawab. Hal sekecil apapun. Biar menegaskan bahwa jika nanti saya punya anak laki, saya gak bisa nyangkal dia tidak mungkin ngelakuin kesalahan besar (toh dia manusia biasa) tapi kalau dia punya tanggung jawab minimal dia berani menghadapi apa yang harus dia tanggung. Dan gak malu-maluin. Masa laki lembek dan penakut!!

Bab tanggung jawab ini sebenarnya bukan cuma buat cowok aja. Toh setiap manusia emang harus punya tanggung jawab. Tapi karena laki-laki tanggungannya lebih gede, I means anak dan istri makanya saya menekankan lebih khusus untuk pria. So, for you siapa pun yang membaca remember that dalam memilih pria itu bukan hanya (lagi-lagi!) tentang kemapanan dan agamanya doank. Kalo agamanya dibilang bagus tapi orangnya gak punya tanggung jawab ya sama aja bohong. Atau secara finansial mapan tapi tidak berani menghadapi kesalahannya sendiri buat apa? Berhati-hatilah. Kalau kita sebagai perempuan bisa jadi perempuan yang cerdas, memilih pasangan hidup sudah bukan lagi hal yang membingungkan. Makanya tanggung jawab itu PENTING urusannya :)

Minggu, 11 Agustus 2013

Mengeluh VS Bersyukur


Akhir-akhir ini ada banyak daftar keluhan yang saya tulis di bagian otak kanan saya sendiri (eh, memori itu tugasnya otak kanan apa otak kiri ya?) Saya lupa dan males googling :D mudah-mudahan bener ya di otak kanan :D

Dan daftar keluhan itu pun berpengaruh sama hidup saya. Saya jadi lebih jauh-jauh sensitiv (apalagi sebelumnya memang super sensitif). Dan saya merasa menjadi orang yang paling unlucky dalam hal ini. Dalam hal apa? For everythings. Dan awal mula keluhan saya adalah (again and again) kenapa saya belum diperbolehkan punya anak. Saya masih belum cukup sehat untuk bisa punya anak lagi. So' saya merasa saya gak bisa jadi orang yang complete dalam hal ini. Dan hal itu pun merembet ke hal-hal lainnya di kehidupan sehari-hari saya. Hingga ada hal kecil yang gak enak dan nyangkut di hidup saya bisa jadi pemicu terbakarnya emosi. Saya ngerasa saya lelah untuk berdoa dan meminta. Mungkin usaha saya memang belum maksimal dalam rangka kesehatan diri. Tapi saya tetap merasa unlucky. Kenapa masih dibiarkan ada penyakit di tubuh saya hingga saya belum boleh punya anak. Rasanya sesaaakkkk ...

Dan lagi-lagi saya marah pada Sang Empunya Kehidupan. Padahal kita semua tahu bahwa yang terbaiklah yang selalu Ia janjikan. Tapi ketidakpunyaan anak dalam hidup saya membuat saya menangis setiap hari di dalam hati. Saya sedih. Padahal saya hanya ingin sehat dan punya anak. Tapi rasanya ... Tuhan selalu membelokkan jalan saya. Yang saya yakin jalan yang Ia tentukan adalah jalan yang baik. Bukan salah jalan, nyasar, atau bahkan buntu. Tapi saya benar-benar lelah dalam menghadapi penyakit yang tidak saya mengerti. Dan masih ada banyak daftar keluhan lainnya di dalam hidup saya. Yang bikin saya gak bersyukur atas apa yang sudah Dia kasih. Dan apa yang saya punya sekarang. Sampai saya dikasih begitu banyak berkah pun, saya masih mengeluh ... Dan tidak berterima kasih pada-Nya.

Tapi, saat ada seseorang yang mengeluhkan hidupnya pada saya lengkap dengan cerita tragis yang harus dia hadapi dalam hidupnya tiba-tiba saya kayak kesentak. Betapa jauh perbandingannya dengan hidup saya yang sempurna (versi saya). Walaupun dengan kondisi tanpa anak dan dengan masih harus berjuang dengan penyakit yang entah kapan akan perginya. Tapi Tuhan satu-satunya tumpuan hidup saya. Di mana tempat saya mengeluh, marah dan protes akan hidup saya yang tidak berjalan dengan apa yang saya inginkan. Tapi saya sadar, bahwa Dialah yang juga memberi saya air di saat saya kehausan dan memberi saya makna di setiap perjalanan. Juga Dialah tempat saya meminta. Saya tak bisa pergi ke mana-mana lagi. Jika saya menginginkan sesuatu, di sana lah tempatnya. Di tempat Sang Pemilik Seluruh Waktu berada. Saya hanya manusia kecil yang sombong. Yang hanya bisa menuntut dan meminta tanpa mensyukuri. Saat saya mendengar sederet keluhan teman-teman saya akan hidupnya yang tidak berjalan dengan baik, rasanya saya ingin berucap Alhamdulilah jutaan kali. Bahwa hidup saya luar biasa senangnya. Dengan atau tanpa jalan yang saya kehendaki. So' saya sadar, bahwa bersyukur itu adalah satu-satunya kunci dan doa. Bersyukur adalah rumus di mana Tuhan akan memberi lebih walaupun kita tidak mengharapkan. Saya sadar, bersyukur juga merupakan salah satu kunci hidup saya. Sesederhana itu ...

Kamis, 01 Agustus 2013

Pamer bukan pameran

AGAIN!!!

Saya ingin sekali membahas lagi tentang memamerkan sesuatu. By the way, sebelum kita loncat ke topik utama, kita telusuri dulu yuk pameran itu artinya apa. You know about acara yang diadakan di suatu tempat dengan tema pameran. Memamerkan sesuatu. Tapi yang dipamerkan merupakan suatu hal yang positif misalnya karya, kreasi atau prestasi. Selain memamerkan, tentu saja maksud dan tujuan pameran adalah mempertunjukkan atau memperkenalkan hasil kreasi, karya dan prestasi tersebut pada masyarakat luas.

Tapi kalo pamer (esspecially pamer harta) itu apa maksudnya?
Sorry but, saya membahas ini bukan untuk mencaci mereka yang sering pamer harta di sosial media atau korban utamanya biasanya di status BBM :D
Tapi lama-lama saya muak sama orang-orang seperti itu. Whatever deh kalo saya dibilang envy atau sirik karena saya gak mampu. Ya emang gak mampu :D Tapi rasanya banyak kok orang-orang yang beneran kaya tapi apa yang dia punya gak di ekspos di media. Liat artis pamer aja enek apalagi yang sama-sekali-bukan-artis :P You know, sekarang banyak banget orang yang motoin barang pribadinya (eh, sebentar. Saya pernah gitu nggak ya). Pernah sih tapi ya bukan harta juga :P
Terus saya gak ngerti banget sama orang-orang yang motoin rumah pribadinya terus dipajang di DP BBM atau di share di beberapa sosial media miliknya. Dari mulai gerasi, ruang tamu, ruang tengah, ruang makan, kamar tidur, sampe halaman belakang dan kamar mandi semua dicapture. Atau maksudnya mereka itu sales rumah? (BOK! Namanya apa ya yang lebih elegan dari sales rumah. Hahaha. Stupid I'am). Broker ya kalo gak salah namanya (googling sendiri deh ya namanya apaan :P)

Atau ada lagi yang hobbi sekali pamer harta lewat status. Ke bank mencairkan duit gede dibilang-bilang, lagi kepengen makan apa dibilang-bilang, lagi ngapain dibilang-bilang, punya barang baru (apalagi mahal dan terkesan anak gaul) dibilang-bilang jugak, sampe hamil aja semua rutinitasnya di share di status udah kayak bikin cerbung aja itu orang-orang. Kesannya semua orang harus tahu kalo semua apa yang dia lakukan itu penting. Wait! Saya pernah mbahas ini sebelumnya dan saya bilang sama diri saya sendiri bahwa dulu waktu umur saya masih di bawah 25 taun saya juga gitu. Tapi mbok ya lama-lama saya belajar juga kan kalo hal itu annoying banget. Apalagi buat orang yang baca. Walaupun status dan DP BBM atau apapun yang kita share di sosial media adalah hak pribadi kita, tapi ya tetep aja ganggu kenyamanan kalo sedikit-sedikit kita ngoceh di sana. Hak pribadi sih hak pribadi, tapi kan yang liat orang banyak. Apalagi kalo orang yang ngocehnya gak sadar umur. DOHhhhh!

Saya sih gak peduli kalo sekarang dibilang orang gila atau orang sirik karna ga mampu sama orang-orang yang punya kebiasaan tadi yang saya sebutkan. Toh suami saya bilang kalo kita itu memang hidup di antara orang-orang yang waras. Dan kayaknya cuma kita yang gila :D

Tapi ya gimana pun juga kita kan hidup di lingkungan yang seperti ini. Jadi mau gak mau harus dijalanin. Karena hal yang sederhana adalah tetap jadi kita yang begini dan gak perlu ikut-ikutan orang. Dan kita sudah berada di lingkungan yang seperti ini ya terima aja. Cuma agak muak dan bosen aja liatnya. Kayak artis-artis ini nih (mending mereka artis punya gaya banyak duit. Lah situ?) :/



Jumat, 28 Juni 2013

Out of comfort zone


Hello theres!!! I'm back! Ihiy. Rasanya sudah bertahun-tahun saya gak nulis di blog ini. Macam rumah kosong yang berdebu aja ini blog gegara jarang disentuh atau dilongok sama penghuninya. And today semangat menulis saya tetiba muncul seiring dengan cerahnya cuaca sore ini (DUH! I'm bad on making the romantic sentence) HAHA. Baiklah. Kita langsung aja mbahas apa yang ingin saya tuangkan sore ini.

Tentang zona nyaman seorang manusia yang banyak sekali ditinggali selayaknya sebuah rumah megah berpenghuni. Lengkap dengan kenyamanannya yang tersedia. Lengkap pula dengan fasilitas yang membaur di dalamnya. Rasanya manusia juga emoh mati kalo liat kenyamanan dunia yang disediakan untuknya. Saya tetiba ingin menulis tentang zona nyaman seorang manusia itu pada saat sedang membaca the-late-birthday-gift from one and only my bestfriend MEI. Saya lagi pengen beli buku titik nol yang harganya 89ribu (kalo gak salah) dan buat saya itu mahal banget. Walopun worth it sih dengan tebelnya yang hampir sama dengan buku partikel dan juga isinya yang bener-bener bikin saya ter-wow-wow (apalah ini bahasanya ter-wow-wow). Hihi.

Dan saya kagum sama penulis yang menceritakan perjalananannya. Keluar dari comfort zone yang hampir jutaan manusia di luar sana mengejarnya. Skip! Saya nggak lagi nulis tentang review buku (saya gak bisa :D). Saya hanya ingin menceritakan sedikit saja pandangan saya tentang zona nyaman seseorang. Can u imagine? Dia (penulis) rela meninggalkan izasah dengan nilai tertinggi kedua (kalo ga salah) di salah satu universitas terkemuka di Cina. Yang untuk mendapatkan itu banyak mahasiswanya yang sampai memilih untuk bunuh diri (silly think. Right?!). Sedangkan dia rela meninggalkan itu semua. Padahal pekerjaan layak dengan label mahasiswa pintar dan kantor mentereng dengan sejumlah gaji yang menggiurkan sudah menantinya di sana. Apalagi rumah pribadi dan sederet fasilitas lainnya yang seolah-olah memang sudah ADA di sana untuknya. Tapi dia rela meninggalkan itu semua karena ia punya mimpi yang orang lain sebut dengan mimpi gila. Yaitu keliling dunia menjadi backpacker dan meninggalkan semua kenyamanan dan keindahan dunia. Semata-mata, ia hanya mencari makna hidup dari sebuah perjalanan. Dan menurut saya, jarang sekali orang yang bisa dan rela mengambil keputusan sepertinya. Bahkan diri saya sendiri pun. Rasanya enggan meninggalkan kenyamanan demi sebuah perjalanan yang bisa dikatakan gak-ada-enak-enaknya-bero :D

And back to zona nyaman yang saya maksud. Kenapa semua orang lebih menginginkan fisik dibanding yang  tidak kasat mata. Makna dari perjalanan hidup saja buat saya itu berkah. Yang sifatnya kasat mata dan tidak terlihat. Dan hanya orang-orang tertentu yang punya 'akal' yang bisa merasakan. Tidakkah mereka menyadari bahwa Tuhan yang mereka sembah setiap hari dan yang mereka temui di dalam shalat yang mereka elu-elukan itu pun tidak kasat mata. Tidak terlihat namun ADA. Tuhan tidak memiliki fisik apapun, tapi NYATA bahwa Dia bisa memberikan kenyamanan. Di luar zona nyaman yang manusia cari. Saya pernah baca quotes yang menyatakan bahwa babi dan kera di hutan saja bisa hidup dan namanya tetap hidup. Tapi selayaknya manusia yang diberi akal, harusnya mencari apa itu hidup. Seiring dengan berjalannya waktu saya pun menyadari bahwa menjalani saja ternyata tidak cukup. Butuh makna yang lebih dari itu tentang hidup.

Makanya saya heran kalau masih begitu banyak orang (Baca : orang-orang di sekitar saya atau yang saya kenal baik) masih memerlihatkan apa yang mereka punya di publik. Khususnya di media sosial atau dunia maya. Saya sering merasa miris aja kalo mereka bawa-bawa nama Tuhan tapi tidak mengerti makna Tuhan sesungguhnya. Eh! Sebentar! Ya emangnya saya ngerti gitu? :D Oke. Anggap saja saya juga tidak atau belum mengerti apa makna Tuhan sesungguhnya di hidup saya. Tapi minimal saya mengerti 'sedikit' saja dari kata Tuhan itu sendiri. Sama halnya dengan penulis yang tadi saya ceritakan. Dia mencari makna hidup dari sebuah perjalanan panjang keliling dunia yang bisa dibilang berat. Tapi saya yakin ujung-ujungnya pencarian manusia itu Tuhan kok. Sama halnya dengan perjalanan hidup saya yang (gak usah kita sebut berat. Tapi katakanlah tidak mudah) ternyata sama halnya dengan perjalanan yang dia lalui. Seputar Tuhan, arena Tuhan, dan kita ada di sekelilingnya. Walaupun prosesnya saja yang berbeda. Tapi maknanya sama. So' beranilah untuk keluar dari zona nyaman yang sudah tersedia. Kadang jalan butut juga perlu kita lewati kok.

Sama halnya dengan jalan hidup saya dan suami. Kadang pada saat sedang jatuh, kami merasa lelah dan ... timbul pertanyaan kenapa hidup kami tidak sama dengan yang orang lain jalani (yang secara kasat mata terlihat mudah). Tapi pada akhirnya saya menyadari. Suami saya tipe orang yang tidak atau sesekali menolak hidup di zona nyaman. Hingga Tuhan mempertemukan kami. Mungkin untuk sama-sama belajar menjajaki hidup rumah tangga di zona yang tidak nyaman. Kayaknya kita berdua emang gak cocok tinggal di zona nyaman :D

UPS! Bukan berarti saya gak mau tidur di kasur empuk dan makan enak ya. Tapi terkadang, hidup di area yang tidak nyaman juga menyenangkan kok. Terlepas dari versi dan pandangan setiap orang tentang nyaman itu sendiri ya. Saya rasa versi setiap orang beda-beda. Kalau menurut orang lain, hidup dengan kasur mahal, AC, dan kamar lega dengan berbagai fasilitas adalah nyaman. Maka buat kami, tidur dengan berpelukan saja nikmatnya sudah melebihi tidur di kasur mahal :D

And this is, the-late-birthday-gift from my only friends MEI. Thanks so much babe ...

Titik nol By Agustinus Wibowo :)

Kamis, 25 April 2013

Apa itu sempurna?


Menurut pengamatan saya pribadi, (Eciyeeehhh. Udah kayak pembawa berita belum bahasanya). Rrrgghh. Just keep it :P Tapi beneran deh, hari ini saya pengen bahas tentang kesempurnaan yang kadang masih nggak saya ngerti. What the meaning dan seperti apa rasanya sempurna di mata orang.

Salah satu temen saya @Samatari pernah tulis status di twitternya tentang ' Kalo merasa segala sesuatunya sedang indah/sempurna pernah takut nggak sih tiba2 Tuhan kasih kejutan apa besok.' Eh, maaf ya calahhh aku lupa tweet pastinya kayak apa. Tapi secara garis besarnya ya begitulah :D 
And then saya retweet dan bilang kadang saya juga takut sama segala sesuatu yang terlihat atau terasa sempurna. Karna apa? Saya tahu yang namanya hidup itu naik turun. Kadang nanjak kadang turun gitu. Jadi waktu saya beres nanjak dan ada di atas, saya ngerasa takut untuk turun. Dan hal ini ada hubungannya dengan relationship saya. Saya merasa hubungan pernikahan saya luar biasa hebat dan sempurna ( I means, on my version ya) , selain saya bersyukur kadang saya jadi mikir balik apakah ada yang salah sama hubungan saya dengan suami?

Intinya begini, dari dulu orang-orang di sekitar saya selalu mendoktrin saya tentang cerira-cerita pernikahan yang dianggap gagal itu yang bagaimana. Dan hal itu sering kali nempel di pikiran saya. Dan saya takut menjadi salah satu di antara mereka (secara track record pacarannya gagal kabeehhh) :D 
Sampai akhirnya saya menjalani pernikahan itu sendiri, saya sering merasa apa pernikahan saya ada yang salah? Apa besok-besok saya harus terima kenyataan pahit? Seolah saya lagi hidup di negri dongeng terus tiba-tiba dibangunin aja gitu disuruh ngerassain gak enaknya nikah. Terus saya kembali ngehadep ke kenyataan yang ternyata gak seindah di negri dongeng. Padahal kalo saya liat lagi figur pernikahan yang baik-baik aja dan sempurna itu ternyata banyak kok. Dan ternyata mereka baik-baik aja sampai sekarang. So' kenapa harus merasa ada yang salah saat pernikahan saya terkesan sempurna. Sekali lagi saya bilang bahwa sempurna di sini relativ ya. Kalo buat saya sempurna kan belum tentu buat orang lain iya.

Saya dan suami sebenernya gak pernah muluk-muluk sih untuk punya hubungan atau isi pernikahan yang romantis or whattever like that. Kita berdua cuma merasa takut aja gitu menjadi salah satu dari pernikahan yang gagal. Atau andai kata awet tapi sepanjang pernikahan salah satu atau kedua belah pihak ngebatin. Nggak mau gitu juga sih! So' we choose to be happy. Karna kita menikah untuk memilih pasangan yang tepat, jadi harus memilih yang baik dan happy untuk dua-duanya donk ya. Bukan salah satu. Jadi dari awal pacaran kita berdua belajar banyak hal. Untuk saling mengerti dan memahami itu seperti apa. Sebenernya selalu belajar sih sampe sekarang jugak. Dan akan selalu begitu sampe kita tua. Jadi saat menjalani pernikahan kita berdua nggak kaget. Walopun ternyata masih banyak juga yang harus kita berdua pelajari. Karena ya itu tadi, anggep aja sekolah. Gak akan pernah berhenti untuk belajar. Dan akan selalu ada ujian.

Makanya setiap liat temen yang mau nikah itu kadang saya pengen banget bilang kalo menikah itu bukan hanya tentang ibadah, tidur berdua, ketemu tiap hari, dan sebagainya. Tapi tentang belajar. Sama-sama belajar bagaimana caranya memahami dan mengerti. Untuk kami yang selalu belajar dari dulu aja ternyata tidak mudah. Makanya mereka yang mau nikah terus udah kadung mikir yang tinggi-tinggi buat saya sih sayang aja. Karena menikah itu pilihan yang diambil untuk seumur hidup loh. Apalagi sangat disayangkan untuk orang-orang yang lebih mentingin pesta pernikahannya aja. Duh sayang banget sumpah. Karena pahala dalam menikah juga lebih dari itu maknanya.

So' saya sih nggak berhenti bersyukur karena selalu memiliki hubungan yang baik dengan suami. Bukan berarti kita nggak pernah berantem, bukan berarti kita selalu ngalah-ngalah aja (sering malah saya punya rasa egois lebih dari dia), dan bukan berarti kita merasa sudah dapet pasangan sempurna (suami saya masih sering ngeledekin saya ini itu). Tapi dari cara kami memperlakukan masing-masing, dan cara kami memahami apa yang nggak kami ngerti dari pasangan itu yang kadang banyak manfaatnya buat kami berdua.

And then ... for you, a single ladies. Carilah orang yang tepat buat kamu, bukan harus mencari yang semuanya harus sesuai dengan yang kamu mau. Dan jika sudah menikah, jangan pernah lelah dan berhenti belajar ...

:))

Selasa, 19 Maret 2013

Apakah nanti surga itu akan seperti ini?



Setelah lepas dari yang namanya kemoterapi? Tuhaaaannnn ... Rasanyaaaa. Kayak jalan di awan dengan kecepatan seimbang. Bisa lihat semua yang indah-indah diliat dari perspektif atas. Lalu merasakan angin yang sejuk. Dan kalau saya berada di awan kesannya gak seberapa jauh dari rumah Tuhan :)

Duoh. Filosofinya terlalu membahana begini yak :')

Tapi selebay-lebaynya perumpamaan tadi, buat saya itu nyata sekali. Saya seperti jadi bagian dari tetek bengek surga. Saking indahnya hidup tanpa kemoterapi. Sorry for the lebay think I have. Padahal kemoterapi itulah yang menyembuhkan saya dari penyakit yang bisa dibilang ringan tapi juga bisa dibilang berat. Tapi memang efeknya itu bikin saya gak yakin apa saya masih bisa menjalani hidup. Apa saya masih bisa kembali normal ke sebelum saya kemoterapi. Dan apa saya masih bisa menikmati hidup kayak dulu? Tapi ternyata, TUHAN! Saya gak percaya kalo saya masih bisa. Being normal again. Duh, gak tahu deh harus ngungkapinnya gimana.

Maaf kalo lagi-lagi saya harus mbahas kemoterapi di blog saya yang tercinta ini. Apakah masih ada yang mau baca atau nggak biarlah. Yang pasti saya bahagia bisa nulis pengalaman saya yang gak mudah di sini. Intinya, kalo orang bilang surga dunia itu mungkin dapet undian milyaran rupiah, bisa punya rumah berapa kali lipatnya negara Indonesia, atau bahkan malam pertama. Buat saya surga dunia itu cukup dengan bebas kemoterapi, menjalani hidup seperti sedia kala, hidup bahagia bersama keluarga dan suami saya. Tentunya dalam keadaan kami sehat. Udah. Cukup bahkan lebih dari cukup.

Minggu lalu saya cek up lagi ke dokter. Lalu dokter lihat perkembangan saya yang sangat signifikan. Dan dia bilang kalo 6 bulan ke depan HCG saya selalu normal, siklus menstruasi saya normal, dan saya sehat, saya sudah diperbolehkan punya anak. Duh waktu denger itu rasanya saya legaaaa banget. Tuhan, jika Engkau mengizinkan mau banget saya punya anak walaupun masih harus nunggu beberapa bulan lagi. Mau banget saya hamil lagi setelah kehamilan pertama saya yang kemarin gak sesuai dengan apa yang saya harapkan. Tapi saya masih mau, SUER :')

Sekarang, rambut saya udah mulai tumbuh banyak. Kulit saya yang tadinya menghitam efek kemoterapi udah mulai memutih lagi sedikit demi sedikit. Kuku saya juga udah hampir normal. Tadinya serem banget liat kuku saya menghitam. And you know what? KETOMBE! Setelah sebulan lebih saya lepas dari kemo, kemarin saya nemu ketombe di rambut saya dan itu rasanya kok bahagia ya (emang sih ini aneh banget). But serious, selama kemo jerawat ketombe dan hal-hal sepele kayak gitu sempet cuti sementara dari hidup saya. Walaupun jerawat dan ketombe bukan hal yang baik dan gak saya suka tapi saat mereka datang kembali saya kok rasanya gimanaaa gitu.

I feel so' normal. Sangat-sangat normal. Gak nyangka aja, waktu saya jalan-jalan berdua dengan suami gitu saya kayak lupa kalo saya pernah sakit lumayan parah. Tuhan baik banget sama saya sumpah! Dia memberi apa yang gak pernah kepikir di hidup saya bahwa saya bakal dapet itu. Dan Dia memberi banyak hal yang rasanya pait dan gak enak tapi ampasnya manis banget. Dan saya percaya bahwa tidak semua orang bisa dapet berkah seperti itu. Rasa bersyukur bahwa saya masih bisa hidup dan merasa bahagia itu tak tertandingi aja gitu. Walaupun setelah semua yang buruk sudah berakhir tapi saya masih harus menghadapi kenyataan-kenyataan hidup yang gak mudah, tapi rasanya apa yang Tuhan kasih ke saya udah lebih dari cukup. Dan walaupun jujur aja saya masih suka mengeluh dan marah-marah sama Tuhan saat ada banyak hal berat yang masih harus saya tanggung setelah saya sembuh dari sakit, tapi diluar itu semua rasa syukur saya mungkin sebesar luasnya surga. Baiklah kalo yang barusan itu emang berlebihan, but I wonder apakah surgaNya Tuhan itu seindah apa yang saya rasakan sekarang? Atau bahkan lebih indah lagi? 

Only God knows :')