Rabu, 03 Oktober 2012

Sudah terbiasa dengan kehilangan

Alhamdulilah, akhirnya saya ada di depan komputer kantor lagi. Duduk manis dan bisa sambil ngenet setelah kerjaan beres. Saya pengen cerita banyaaaakkk. Mudah-mudahan panjangnya gak ngalahin sinetron tersanjung. Tapi lumayan inspirasional kok (apalah arti kata-kata ini!).

Jadi ceritanya, saya inget banget. Tanggal  22 Agustus 2012. Pas setelah 8 hari saya telat menstruasi dan beli testpack. And then, jantung saya berderbarnya kenceng banget kayak baru pertama jatuh cinta in 5 years old (seriously!). Tangan saya gemeter saking senengnya liat 2 garis warna merah yang seolah melambai-lambaikan tangan ke arah saya. Suami saya cuma senyum-senyum and then he kiss my forehead. Dia bilang udah nyangka saya hamil diliat dari tanda-tanda keluhan saya sakit di sana sini. And I'am so' happy. More than just a happy. Kalau ada istilah lainnya untuk lebih bahagia daripada bahagia, mungkin maksud saya itu.
Sempet kepikir apakah saya mampu mengandung selama 9 bulan, apakah saya siap menghadapi moment-moment persalinan, dan yang terpenting apakah saya bisa jadi Ibu yang baik dan bisa mendidik anak saya jadi seseorang yang cerdas sesuai dengan yang saya mau. Tapi dengan bismillah, saya ikhlas menjalani semuanya. Walaupun menjadi seorang Ibu itu tidak mudah.

Masuk minggu ke 6 saya mulai sering mual bahkan sampai muntah. Hari-hari saya sudah berubah 360 derajat. Saya nggak suka bau parfum so' I never use it again. Sehari muntah bisa 2-3 kali. Saya gak mau dandan dan memang tidak dibolehkan memakai kosmetik sembarangan. Saya yang tadinya menomorsatukan penampilan diluar semua hal jadi seseorang yang cuek banget masalah penampilan. Jarang cuci muka sebelum tidur, keramas bahkan bisa 3 hari sekali. Teman-teman bahkan suami saya bilang kayaknya anaknya cowok saking pemalesnya. Haha. Walaupun saya pengen banget anak perempuan tapi saya syukuri saja kalau Tuhan memberi saya anak laki-laki.

Sampai suatu hari, saya udah nggak kuat banget dengan mual dan muntahnya yang kuantitasnya makin hari makin bertambah. Sampe nggak kuat pergi kerja. Tanggal 20 September malamnya saya dan suami periksa ke bidan. Maksudnya pengen liat anak kami lewat USG. Sebelum pergi, saya sempet berdo'a pada Tuhan semoga bayi saya sehat. Tapi sesampainya di sana, dan periksa USG saya dikagetkan oleh raut wajah bidan yang agak weird. Katanya saya harus periksa ke dokter kandungan. Karna bayinya nggak keliatan. Dan  prediksi bidan saya kayak hamil anggur alias hamil diluar kandungan. Saya langsung kaget, dan masih belum paham istilah hamil anggur ini. Tapi yang jelas, saat itu saya sedih banget. Bidan bilang kalau prediksinya benar, saya harus kuretase dan bayinya harus dikeluarkan. Sebisa mungkin saya tahan tangis di sana. Baru sampai di mobil, saya mulai saling melihat dengan suami saya. Dia hanya bilang saya harus banyak bersabar. Dari situ tangis saya meledak. Bahkan suami saya pun hanya bisa menggenggam tangan saya tanpa banyak bicara. " Kita lagi diuji lagi sayang ..." kalimat itu pun bahkan lebih dahsyat dari prediksi bidan tentang kehamilan saya. And I say to him that, " Aku rela mual sama muntah terus asal bayi kita sehat ..."

Besoknya saya langsung ke dokter kandungan di rumah sakit ibu dan anak, ternyata diagnosa dokter tersebut juga sama. Hamil anggur. Saya dirujuk lagi ke lab untuk tes darah hormon kehamilan atau biasa disebut HCG. Setelah hasil keluar, dokter tersebut merasa tidak sanggup untuk tindakan kuretase karena kadar hormon kehamilan saya tinggi sekali. Sampai bosan saya menangis. Kenapa saya harus kehilangan anak saya bahkan sebelum saya sempat melihatnya. But, lucky me. Tuhan mengirim seorang suami yang sangat sabar menghadapi saya. Saya tahu dia juga sama kecewanya dengan saya. Tapi dia berusaha sekali untuk terlihat lebih kuat dari saya untuk menguatkan saya.

Saya dirujuk kembali ke rumah sakit negri di Bandung karna saya harus ditangani dokter specialis onkology. Di rumah sakit swasta besar pun, specialis onkology tersebut tidak ada. Hanya ada di rumah sakit negri tersebut yang, maaf. Pelayanannya pun sungguh sangat tidak nyaman. Tapi ya terpaksa. Akhirnya dari tanggal 25 September saya dirawat di sana. Dan ternyata proses kuretasenya pun masih harus esoknya menunggu dokter yang bersangkutan. Saya masih mual, muntah, bahkan sudah tidak masuk makanan apapun. Belum lagi pihak rumah sakit yang cuek karna saya belum dapat suntikan infus. Malamnya, ternyata saya harus pasang alat yang dimasukan lewat vagina agar saya mengalami pendarahan dan agar rahimnya terbuka saat di kuret nanti. Subhanallah, sakitnya melebihi apapun. Saya sampai jerit-jerit kesakitan. Tidak bisa tidur nyenyak, dan ketegangan terus menghantui saya. Entah kejutan apa lagi yang akan saya terima.

Suami saya masih menemani bahkan memberi lebih banyak support. Walaupun saya tahu dia lelah bahkan rela meninggalkan pekerjaannya berhari-hari. Saya jadi tahu bahwa saya nggak salah pilih suami. He's the best!!! Tindakan kuretasi dimulai pada tanggal 26 September jam 10 lebih 15 menit sampai pukul 10.30.

Hikmah yang saya dapat setelah kuretase ini, saya berfikir bahwa mungkin Tuhan memang menyiapkan moment yang lebih indah untuk saya dan suami. Walaupun kami harus kehilangan anak pertama kami. Dari hari ke hari saya mulai ikhlas melepas dia pergi. Bahkan teman saya bilang, anak yang sudah meninggal di kandungan akan mendoakan orang tuanya suatu hari nanti. Amin Ya Rabal alamin saya sampai terharu mendengarnya. Mungkin memang saya juga belum sepenuhnya siap jadi Ibu. Dan saya percayakan semuanya pada Tuhan. Biar Tuhan yang menentukan segala yang terbaik untuk saya dan suami. Saya yakin, apapun yang saya lakukan dengan berdasarkan atas Tuhan, demi Dia, dan untuk Dia, segala sesuatu yang sulit akan jadi mudah. Saya tetap bersyukur, ini tanda bahwa Tuhan sayang sekali pada kami. Dan kami tetap semangat menyambut kedatangan anak kedua di saat yang tepat, di saat yang sudah Tuhan janjikan :)

1 komentar:

  1. kok ak nangis ya,,,,
    congrats ya cha kmu ud dpt cobaan yg blm tntu d dpt smua wanita sedunia. emng g slah Tuhan sayang bgt sm kmu cha...


    ghie

    BalasHapus